Ancaman Gempa Megathrust Nyata Akan Terjadi
By Numanza Inc.

Ancaman Nyata Gempa Megathrust Berskala 9 SR Memicu Tsunami

Megathrust merupakan ancaman nyata yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Bahkan, jika kekuatannya mencapai 9 SR (Skala Richter) dapat menimbulkan tsunami. Ungkap Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Rahmat Triyono.

Banyak yang belum mengetahui kalau saat ini Jabodetabek tengah dikepung ancaman gempa besar dari tiga penjuru mata angin, fase kegempaan besar yang memiliki siklus ratusan tahun sudah tiba saatnya sekarang. Darimana sajakah dan seberapa besar kekuatannya yang akan terjadi?

Sebuah Ilustrasi Ketika Gempa Besar Itu Datang, Apa Yang Akan Terjadi Dengan Warga Ibukota dan Sekitarnya.

Ancaman pertama ada di sisi selatan pulau Jawa, tepatnya sepanjang laut selatan yang memiliki palung di bawah laut yang sangat dalam hingga 2000 meter, pergerakan tanah akan menciptakan longsor dan menciptakan tsunami yang besar.

Baca Juga: Tips Sederhana Mencegah Maling Motor

Banyaknya palung di selatan laut jawa inilah yang menciptakan mitos kisah nyi Roro Kidul bagi sebagian masyarakat di sana, dari kabar yang didapat banyak orang yang terseret ombak saat berenang dan jasadnya tidak ditemukan lagi karena tersedot oleh tarikan lubang palung yang ada.

Siklus kegempaan dan tsunami di selatan laut jawa 600 tahunan yang ditemukan para ahli menyatakan bahwa dapat mencapai 9 SR (Skala Richter) dan menciptakan tsunami besar serta diperkirakan air laut mampu mencapai lebak dan kemungkinan sebagian Jakarta di bagian selatan (jaman dahulu).

Jika air laut bisa mencapai jarak sedemikian jauh, dahulu arus air belum banyak hambatan memasuki daerah yang sekarang sudah menjadi kota-kota dengan bangunan beton yang konon pada waktu itu tinggi gelombang diperkirakan mencapai 30-50 meter (mirip film Avatar).

Jika gempa berskala 9 SR (Skala Richter) ini terjadi, wilayah yang berpotensi mengalami banyak kerusakan parah yaitu melintang dari Sukabumi-Cilacap-Jogja. Dahulu banyak dari mereka yang survive saat kejadian tinggal di atas bukit dengan ketinggian di atas gelombang yang terjadi.

Dalam sebuah perbincangan dengan salah satu warga pesisir Sukabumi, saya pernah tanyakan mengapa pohon kelapa di sana tinggi-tinggi? Jawaban mereka cukup mencengangkan "Inilah salah satu Pelampung Gusti Allah buat kami jika terjadi bencana tsunami." Meskipun tinggi pohon kelapa tidak mencapai 30 meter.

Ancaman akibat gempa besar di selatan pulau jawa tidak hanya dari tsunami saja, tetapi akibat besarnya gerakan tanah tersebut bisa menciptakan longsor di daerah perbukitan seperti daerah puncak. Hal ini yang seharusnya juga diwaspadai untuk tindakan mitigasi.

Sejarah tidak mencatat berapa banyak jumlah korban jiwa saat tsunami besar terakhir terjadi, sudah tentu akan jauh berbeda dengan kondisi sekarang dimana kepadatan penduduk yang sudah berlipat-lipat. Akan tetapi, jika belajar dari tsunami di Aceh korban yang tewas bisa lebih besar dari 250.000 jiwa.

Gempa 9 SR (Skala Richter) dan tsunami di Aceh bisa menjadi model sederhana meskipun tidak sekompleks di selatan laut jawa, dengan populasi yang berlipat, banyaknya bangunan beton dan perumahan/villa di bukit, sudah pasti menambah jumlah korban.

Bagaimana kondisi di Jabodetabek menghadapai ancaman megathrust selatan laut jawa? Nanti sekalian aja dengan dua ancaman berikutnya yang juga sama-sama sudah "di depan pintu."

Ancaman ke dua setelah dari laut selatan jawa adalah anak Gunung Krakatau di sebelah barat Jawa. Berdasarkan penelitian ahli asing sejak tahun 2015 lalu, sudah memasuki fase mega volcano seperti letusan sebelumnya dari sang ibu di tahun 1883 yang efeknya mengerikan.

Dari catatan sejarah letusan Gunung Krakatau tahun 1883 selalu diawali dengan letusan-letusan kecil, dan saat ini sudah kita rasakan terakhir pada tanggal 23 Desember 2018 ada tsunami di Banten secara tiba-tiba akibat longsornya sedimen anak Gunung Krakatau. Hal ini menyeramkan karena letusan bawah laut.

Letusan Gunung Krakatau besarnya 10.000 kali lebih besar dibandingkan letusan bom Hiroshima ada keterkaitan letusan Gunung ini dengan pergerakan lempeng di selatan laut jawa. Ada kemungkinan akan terjadi secara beruntun setelah palung laut bergerak maka gunung meletus.

Sejarah pun mencatat saat letusan Gunung Krakatau sekita 136 tahun lalu menciptakan gelombang tsunami hingga ketinggian 36 meter dengan daya jangkau air mencapai radius 40 km ke daratan dan menimbulkan korban jiwa sebanyak 36.000 jiwa. Bahkan suara letusan terdengar hingga Australia.

Apabila letusan terjadi saat ini terdapat resort, hotel atau pun kawasan industri di sekitar Cilegon, belum termasuk kawasan pelabuhan Merak-Bakauheni dan Bandar Lampung. Dapat kita ukur dari garis pantai terdekat minimal 40 km jangkauan tsunami nya.

Bagaimana dengan kondisi Jabodetabek jika anak Gunung Krakatau meletus? Tidak ada catatan sejarahnya, namun yang pasti guncangan gempa vulkaniknya pasti akan terasa hingga Jakarta. Ancaman terbesar tentunya ada di daerah Tangerang dan BSD.

Letusan Gunung Krakatau menyebabkan langit yang gelap selama tiga hari hingga radius 442 km dari posisi Gunung. Itu berarti, jika ke arah Jawa bisa mencapai Pekalongan-Batang mengalami Blackout selama tiga hari. Dapat dibayangkan seberapa mengerikan pemadaman listrik selama 14 jam beberapa waktu lalu.

PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) Suralaya yang berlokasi hanya tujuh kilometer dari pelabuhan Merak dipastikan hancur dan salah satu sumber pasokan listrik ke ibukota menjadi terhenti. Sedangkan Jabodetabek akan darurat listrik selama bertahun-tahun untuk memulihkannya kembali.

Besarnya letusan Gunung Krakatau pada jaman purba, bahkan ada ahli menyebutkan mampu menenggelamkan negri Atlantis yang dipercaya berada di pulau Jawa. Hal ini sangat mengerikan jika memang benar terjadi.

Ancaman ke tiga setelah Laut dan Gunung adalah Daratan berupa Patahan (sesar) yang berasal dari Timur Pulau Jawa yaitu Patahan Lembang dan Baribis menyusuri wilayah Jabodetabek dimana yang paling terancam adalah Bekasi dan Jakarta Selatan.

Patahan yang melintas di Jakarta cukup banyak, mereka melingkari Jakarta dari seluruh penjuru mata angin, ada yang di daratan dan di sungai. Namun yang tercatat dalam sejarah mempunyai daya rusak tinggi ada di selatan Jakarta.

Gempa terbesar di Jakarta terjadi pada 22 Januari 1780 dengan kekuatan 8,5 SR (Skala Richter) sementara pada tahun 1834 kekuatannya 7 SR (Skala Richter).

Uniknya, gempa pada tahun 1780 diikuti dengan meletusnya Gunung Salak saat itu. Namun kerusakan parah terjadi di daerah Depok, Pasar Rebo hingga Tangerang Selatan.

Sementara, gempa di tahun 1834 yang merusak wilayah Jakarta Pusat, efek kerusakannya mengarah ke daerah Timur dan Utara Jakarta, Bekasi hingga Karawang. Akan tetepi dampak kerusakannya tidak separah dibanding gempa di Selatan Jakarta.

Menurut ahli Geologi dengan ditemukannya patahan Baribis memanjang dari Purwakarta-Cibatu Bekasi hingga Selatan Jakarta, mereka memprediksi gempa 8,5 SR (Skala Richter) yang terjadi pada tahun 1780 bisa terulang lagi dalam waktu dekat mengingat di abad 20 kemarin patahan ini "tidur."

Dalam simulasi yang dibuatkan oleh ahli, jika patahan Baribis ini bergerak keras maka dengan kepadatan penduduk yang dilewati oleh patahan ini bisa mengakibatkan potensi korban jiwa diatas 40.000.

Selain ancaman langsung patahan Baribis ini, Jabodetabek memang rentan terkena dampak gempa di tempat lain, seperti saat tahun 2009 lalu pusat gempa di Tasikmalaya dengan kekuatan 7,3 SR (Skala Richter) Jakarta ikut merasakan ayunan kencang.

Jabodetabek dalam kurun waktu 22 tahun terakhir ini (sejak gempa 1997) memang sudah cukup banyak mendapat "pelatihan" dan diganggu oleh gempa-gempa berkekuatan 7 SR (Skala Richter) dari daerah lain. Hasilnya cukup bagus, belum ada kerusakan besar seperti tahun 1780.

Gempa yang terjadi beberapa hari lalu di Banten dan terasa di Jabodetabek juga merupakan "pelatihan" tes kekuatan properti yang ada di sejumlah wilayah di Jakarta. Seperti yang diberitakan oleh BMKG yang bermula 7,4 SR (Skala Richter) kemudian direvisi menjadi 6,9 SR (Skala Richter) membuktikan bahwa Jabodetabek cukup kuat menahan 7 SR (Skala Richter).

Concern "pelatihan" gempa di Jabodetabek ini karena bangunan-bangunan vertikal seperti appartment, mall, kantor-kantor dan infrastruktur lainnya hanya mengandalkan beton semata. Sejauh ini pemerintah tidak pernah melakukan audit kekuatan bangunan-bangunan bertingkat.

Bukan bermkasud menakut-nakuti, sekelas Jepang saat terjadi gempa 7,2 SR (Skala Richter) di Kobe pada tahun 1995, menunjukkan jalan layang yang runtuh seperti yang dikutip oleh republika(dot)co(dot)id, 17 Januari 2017 08:22 WIb. Hal ini menjadi pembanding untuk dapat melihat berapa kuat infastruktur di Jabodetabek ketika gempa terjadi.

Sanggupkah Jabodetabek Menghadapi Ancaman Megathrust?

Jika kita melihat Developer pembangunan Apartemen murah di Jabodetabek yang usianya belum genap satu tahun sudah ada kertakan, miring dan lain sebagainya. Silahkan diperhatikan, apabila melihat Apartemen yang diberi pengikat warna-warni di sisi siku bangunan.

Pernahkah Anda membaca bahwa SNI kegempaan bangunan di Jabodetabek hanya disyaratkan mampu menahan gempa hingga 7 SR (Skala Richter)?. Sementara ancaman nyata dan sejarah justru mencatat bahwa gempa di Jabodetabek pernah hingga 8,5 SR (Skala Richter), inilah yang patut diwaspadai.

Satun-satunya bangunan di Jakarta yang diklaim mampu menahan goncangan gempa hingga 9 SR (Skala Richter) adalah MRT (Mass Rapid Transit). Sangatlah wajar, dikarenakan konstruksi mereka kebanyakan adalah bawah tanah. Bayangkan jika tidak kuat, dapat tertimbun reruntuhan.

Bagaimana dengan tol layang (elevated) yang banyak tersebar di Jabodetabek? Ini masih tanda tanya juga khusus untuk tol Wiyoto Wiyono sudah lolos uji tahan gempa pada tahun 1997 dan 2009 dengan kekuatan 7,4 SR (Skala Richter) namun dengan sumber gempa yang cukup jauh.

Masih ingatkah Anda dengan rubuhnya salah satu tiang tol Becakayu? Dalam banyak candaan jalanan dikatakan bahwa tidak ada gempa pun sudah rubuh. Hal ini lah yang benar-benar juga harus diwaspadai. Karena berdasarkan hasil investigasi kepolisian penyebabnya adalah Human Error.

Jabodetabek memiliki masalah besar jika terjadi gempa besar, karena belajar dari kasus padamnya listrik PLN beberapa waktu lalu. Dalam hal ini, menghadapi pohon tumbang saja tidak mampu, bagaimana bila menghadapi bencana besar. Potensi chaos sangat besar, rusuh dan minimnya cadangan energi.

Dapat kita katakan kejadian padamnya listrik kemarin bukanlah Blackout seperti yang banyak orang sebutkan, justru lebih parah yaitu Shutdown karena jalur telekomunikasi pun terputus berjam-jam. Ini merupakan peringatan besar apabila terjadi bencana bukan hanya PLN semata.

Belajar dari kasus gempa di Palu pasca kejadian, penjarahan yang dilakukan oleh masa membuktikan bahwa kita belum punya SOP apa yang akan kita siapkan dan lakukan saat bencana itu datang. Ini juga harus menjadi perhatian dari pemerintah selain soal mitigasi.

Dalam debat capres 2019 lalu, Prabowo menyebutkan kalau dalam keadaan darurat cadangan BBM kita hanya mampu bertahan untuk 20 hari ini memang fakta. Bayangkan saja jika dalam keadaan bencana, apakah dalam waktu 20 hari kita bisa recovery darurat?

Tanpa BBM dipastikan kita tidak berdaya, sementara untuk pangan masih ada alternatif. Pada titik inilah kita yakin bahwa Presiden Jokowi begitu yakin kalau ibukota memang harus segera dipindahkan karena tidak ada jalan keluar.

Pemindahan ibukota Adalah Hanya Upaya Kecil Menghindari Megathrust

Ketiga ancaman bencana utama dan belasan ancaman minor sudah disampaikan langsung ke Presiden oleh ahli-ahli kebencanaan di negeri ini. Presiden begitu peduli hingga beliau sendiri yang langsung menangani soal ini walaupun tindakan wayoutnya kurang OK. Tutur Kurawa.

Mengapa kurang sempurna? Karena pemindahan ibukota adalah hanya upaya kecil memindahkan aparatur negara dan pejabat, sementara warga tetap berada di sini. Inilah titik kelemahan dan belum adanya aksi bagus untuk mitigasi serta SOP pasca bencana.

Jika Presiden sudah mendapatkan info yang benar soal potensi bencana di Jawa, pada periode ke dua ini semestinya beliau stop dahulu pembangunan infstruktur yang baru, fokus ke program-program ketahanan, pangan, energi untuk hadapi rawan bencana.

Perilaku warga saat panik menghadapi bencana, hukum rimba lebih berlaku. Hal ini karena kita belum pernah diuji dengan bencana-bencana dalam skala kecil dan menengah khususnya warga Jabodetabek.

Semantara Bandung sudah cukup berbangga karena telah memiliki relawan siaga gempa khusus menghadapi gerakan sesar lembang. Mereka menamakannya relawan Avengers. Saat ini mereka masih mensosialisasikan warga bagaimana menghadapi gempa. Ini adalah murni aksi warga, sementara pemerintah belum bergerak.

Setelah membaca utas ini, kita tidak perlu takut, mau lari kemana pun susah. Oleh sebab itu, ancaman ini harus kita hadapi. Belajarlah dari Jepang, kemungkinan hidup pasca bencana besar didapat karena dari hasil kesadaran dan kerjasama warga dalam bertahan hidup.

Rakyat Jepang mengajarkan kita modal hidup saat bencana, itu bukan hanya cadangan makanan saja tetapi sikap dan toleransi dalam mengatasi masalah adalah yang paling utama. Inilah hal tersulit di negeri ini.


Source: Rudi Valinka a THREAD